Demonstrasi Kawal Putusan MK bukanlah sekadar aksi yang digerakkan oleh kepentingan elit politik, melainkan adalah aksi protes rakyat yang peduli terhadap masa depan demokrasi Indonesia.
Aksi tersebut menuntut agar DPR menghormati putusan MK dan memastikan bahwa rakyat, baik dari kelompok kecil maupun besar, tetap memiliki akses yang adil terhadap proses politik di tanah air.
Selengkapnya di bagian PENJELASAN dan REFERENSI.
==========
Kategori: Konten yang menyesatkan
Beredar sebuah video di group Facebook Gen-Timpa Indonesia Raya yang diunggah oleh akun Jan Ethnes, dengan narasi yang menyatakan bahwa demonstrasi Kawal Putusan MK hanya menguntungkan elit politik dan tidak terkait dengan kepentingan rakyat kecil.
Narasi tersebut juga menyebut bahwa tuntutan yang diusung dalam aksi tersebut tidak mencakup isu yang relevan bagi masyarakat, seperti pemberantasan korupsi.
NARASI:
Demo yang berdalih bela rakyat
Yang sejatinya demo bela elit politik yang tidak bisa nyalon pilkada
Coba demo ke Ketua DPR dorong segera syahkan UU perampasan aset koruptor sdh pernah dilakukan belum oleh mahasiswa serentak didepan gedung DPR ……spill videonya jika ada ??
Sumber: Facebook
https://archive.ph/dRmVr Arsip
==========
PENJELASAN:
Berdasarkan hasil penelusuran, narasi yang menyebutkan bahwa aksi demonstrasi Kawal Putusan MK hanya menguntungkan elit politik adalah klaim yang tidak berdasar. Sebaliknya, demonstrasi ini adalah upaya murni dari masyarakat sipil untuk melindungi hak-hak politik rakyat kecil, serta menjaga agar Pilkada tetap berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip konstitusi dan demokrasi yang sehat. Ini adalah aksi yang pro-rakyat, bukan sekadar alat bagi elit politik untuk mempertahankan kekuasaan.
Menurut Bivitri Susanti, pengajar di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, aksi demonstrasi yang terjadi bukanlah alat bagi elit politik, melainkan upaya untuk mengawal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) agar Pilkada tetap dilaksanakan sesuai konstitusi. Pada 22 Agustus 2024, masyarakat sipil turun ke jalan untuk menentang revisi UU Pilkada yang direncanakan oleh DPR RI, yang dianggap tidak sejalan dengan putusan MK nomor 60/PUU-XXII/2024 dan 70/PUU-XXII/2024.
Putusan MK ini memiliki dampak besar bagi demokrasi lokal. Putusan nomor 60 memperbolehkan partai-partai kecil dan baru, baik yang memiliki wakil di DPRD maupun tidak, untuk mencalonkan kepala daerah dalam Pilkada. Sementara putusan nomor 70 menetapkan bahwa usia minimal calon kepala daerah adalah 30 tahun saat mendaftar, bukan saat dilantik. Dengan demikian, putusan ini memperluas akses partai-partai kecil dan calon-calon muda untuk berpartisipasi dalam Pilkada.
Narasi yang menyebut aksi demonstrasi ini tidak menyentuh kepentingan rakyat kecil juga terbantahkan. Justru, menurut Bivitri, aksi ini bertujuan memastikan bahwa rakyat kecil memiliki lebih banyak pilihan politik. Dengan melindungi putusan MK dari upaya pembatalan melalui revisi UU Pilkada, demonstrasi ini berusaha mencegah agar kartel politik dan oligarki tidak mengambil alih proses politik lokal.
Dengan adanya putusan MK yang membuka peluang bagi partai-partai kecil dan calon muda, rakyat kecil dapat lebih mudah memilih calon yang sesuai dengan aspirasi mereka, bukan hanya mereka yang didukung oleh kekuatan politik besar dan penguasa modal. Oleh karena itu, aksi ini adalah bentuk perlawanan terhadap upaya pengerdilan demokrasi yang dilakukan oleh segelintir elit yang mencoba merevisi UU Pilkada demi kepentingan mereka sendiri.
Terkait anggapan bahwa aksi ini hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu, Bivitri mengakui bahwa dalam setiap peristiwa politik pasti ada kelompok yang diuntungkan. Namun, fokus utama dari aksi ini tetap pada upaya menjaga agar Pilkada tetap berjalan sesuai konstitusi. Aksi ini adalah bentuk perlawanan terhadap langkah DPR yang dinilai melawan konstitusi dan berpotensi merusak demokrasi lokal di Indonesia.
Sebagaimana dijelaskan oleh pakar hukum tata negara, Herdiansyah Hamzah, putusan MK adalah final dan mengikat, sehingga setiap undang-undang yang dibuat oleh DPR harus sesuai dengan putusan tersebut. Jika DPR melanggar putusan MK, itu merupakan bentuk pembangkangan terhadap konstitusi, dan masyarakat sipil berhak untuk menentangnya. Demonstrasi ini adalah wujud dari hak sipil untuk memastikan bahwa demokrasi tidak dibajak oleh kepentingan segelintir elit politik.
Peneliti politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Prof. Firman Noor, juga mengkritik keras langkah DPR yang dianggapnya sebagai upaya kartelisasi politik. Dalam konteks ini, aksi demonstrasi Kawal Putusan MK merupakan bentuk perlawanan terhadap praktik-praktik politik kotor yang hanya menguntungkan sekelompok elit politik dan mengabaikan kepentingan rakyat luas.
Dengan demikian, klaim narasi dalam unggahan tersebut masuk dalam kategori konten yang menyesatkan.
REFERENSI:
Leave a Reply